JAKARTA – Politik merupakan sesuatu yang tidak dapat dilepas dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk kehidupan beragama. Pada era awal-awal Islam didakwahkan, Nabi Muhammad saw pun melakukan beragam aktivitas politik, khususnya pascaterbentuknya masyarakat Muslim di Madinah. Tentunya, politik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw adalah untuk kemaslahatan dan bukan untuk kekuasaan pribadi.

Di antara produk politik mulia dan monumental yang dilakukan Nabi Muhammad saw adalah terciptanya Piagam Madinah yang beliau rumuskan dan tanda tangani pasca hijrah (622 M).

Di Madinah kala itu, beliau membangun masjid dan menjadikan fungsinya sebagai tempat menerima delegasi-delegasi non-Muslim yang datang dari berbagai negeri. Contoh lain praktik politik Nabi Muhammad saw adalah perjanjian Hudaibiyah dan gencatan senjata antara kaum muslimin dan kaum musyrikin.

Mendekati masa-masa politik, patut bagi kita sebagai warga Indonesia untuk meniru bagaimana etika dan moral berpolitik Nabi Muhammad saw. Meskipun tindakan politis Nabi dinilai bukan merupakan sunnah tasyri’iyyah atau bukan syari’at yang mesti diikuti, tetapi sudah sepatutnya kita mengikuti contoh baik yang pernah diusung oleh sosok yang menjadi teladan hidup manusia.

Pertama, politik Nabi Muhammad saw dirumuskan melalui proses musyawarah antarindividu maupun kelompok. Artinya untuk menghasilkan suatu keputusan politis yang baik, Nabi Muhammad saw perlu merumuskannya bersama-sama orang-orang di sekitarnya.

Contoh musyawarah yang pernah dilakukan Nabi Muhammad saw adalah ketika Perang Uhud untuk memutuskan antara beliau tetap tinggal di Madinah atau keluar menghadapi musuh. Hasil musyawarah tersebut pun adalah usulan terbanyak yang menegaskan agar semuanya berangkat menghadapi musuh sehingga Nabi pun ikut. Musyawarah juga terjadi antara Nabi Muhammad saw dengan sahabatnya di Perang Khandaq dan juga peristiwa Hudaibiyah.

Kedua, politik Nabi Muhammad saw selalu ditujukan untuk suatu kemaslahatan orang banyak, bahkan mendahulukan kemaslahatan umat dibanding kemasalahatan pribadi. Sifat mendahulukan umat dalam tindakan politis Nabi Muhammad saw terkadang memaksa beliau untuk mengurungkan niatnya dalam melakukan sesuatu.

Misalnya adalah niat Nabi Muhammad saw untuk merenovasi Ka’bah. Namun, beliau mengurungkannya sebab khawatir mendapat penolakan bahkan menciptakan persilisihan di tengah masyarakat Muslim yang terhitung masih baru keislamannya.

 عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ لَوْلَا أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ لَأَمَرْتُ بِالْبَيْتِ فَهُدِمَ فَأَدْخَلْتُ فِيهِ مَا أُخْرِجَ مِنْهُ وَأَلْزَقْتُهُ بِالْأَرْضِ وَجَعَلْتُ لَهُ بَابَيْنِ بَابًا شَرْقِيًّا وَبَابًا غَرْبِيًّا فَبَلَغْتُ بِهِ أَسَاسَ إِبْرَاهِيمَ

Artinya, “Dari ‘Aisyah ra, bahwa Nabi Saw. berkata kepadanya, ‘Seandainya bukan karena keberadaan kaummu yang masih lekat dengan kejahiliyahan, tentu aku sudah perintahkan agar Ka’bah Baitullah dirobohkan lalu aku masukkan ke dalamnya bagian yang sudah dikeluarkan, aku akan jadikan (pintunya yang ada sekarang) rata dengan permukaan tanah, lalu aku buat pintu timur dan pintu barat dengan begitu aku membangunnya di atas pondasi yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim as.” (HR. al-Bukhari).

Akhirnya, renovasi pun dilakukan di masa ‘Abdullah bin Zubair berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw. tersebut. Di kala itu, umur agama Islam sudah cukup dapat memahami dan memaklumi ide perobohan dan pembangunan kembali Ka’bah.

Contoh lainnya adalah kepekaan Nabi Muhammad saw terhadap tindakan sanksi kepada sebagian tokoh munafikin yang banyak orang memahaminya sebagai plin-plan. Padahal, tujuan Nabi Muhammad saw adalah untuk kemaslahatan yang lebih besar bagi Islam dan umat Islam saat itu.

Sebut saja ‘Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang tokoh munafik, yang kala itu pernah ‘Umar menyarankan kepada Nabi Muhammad saw agar mengeksekusi mati terhadapnya, tetapi beliau tolak. Meskipun kesalahan yang sama pernah dilakukan oleh orang lain namun dijatuhi hukuman mati. Beliau menjawab ‘Umar, “Apa yang akan dikatakan oleh orang? Muhammad membunuh pengikutnya sendiri.”

Dalam kasus lain, ‘Abdullah bin Ubay bin Salul pun terlibat dalam kasus fitnah yang dilontarkan terhadap Siti ‘Aisyah. Namun beliau tidak dihukum cambuk karena Nabi Muhammad saw memandang kemaslahatan yang lebih besar. Konon, kemaslahatan besar dari menghindari penjatuhan hukuman tersebut adalah agar tidak terulang kembali peperangan antara suku Aus dan Khazraj sebagaimana terjadi sebelum Islam datang.

Ketiga, politik ala Nabi Muhammad saw tidak menerima gratifikasi atau imbalan tertentu supaya Nabi Muhammad saw berhenti dari kegiatan dakwah dan memimpin umat. Hal ini pernah terjadi ketika Nabi Muhammad saw mendapatkan lobi dari kaum musyrikin melalui pamannya dengan menawarkan beragam kenikmatan duniawi. Nabi pun menjawab, “Wahai paman, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, supaya aku meninggalkan misiku, pasti aku akan menolaknya dan akan terus berusaha walau aku mati dalam melaksanakannya.” (Ibnu Hisyam, as-Sirah li Ibni Hisyam, [Beirut: Dar al-Jayl, 1411], jilid II, hal. 101).

Keempat, tindakan dan gerak politik Nabi Muhammad saw jauh dari kata pengkhiatan baik terhadap kawan maupun lawan. Bahkan ketika ada perjanjian antara Nabi dengan musuh, dan musuh terlihat gerak-gerik akan mengkhianati perjanjian tersebut, Allah melarang Nabi untuk menyerang sebelum adanya tindakan jelas yang berimplikasi pada pembatalan perjanjian. Hal ini disebutkan dalam surat al-Anfal ayat 58:

وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَىٰ سَوَاءٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ

Artinya, “Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (QS al-Anfal : 58).

Kelima, kemudian yang terakhir adalah sikap politik Nabi saw berasaskan keadilan, baik kepada kaum muslimin maupun non-Muslim. Misalnya adalah suatu hari ketika Nabi Muhammad saw sedang bertamu di rumah Abu Bakar, lantas ada yang mengetuk pintunya. Ternyata orang tersebut beragama Nasrani dan ia bermaksud mencari Nabi saw sebab ia dizalimi oleh Abu Jahal bin Hisyam yang telah mengambil hartanya. Nabi saw pun segera ke rumah Abu Jahal dan meminta dirinya untuk mengembalikan harta si Nasrani tersebut. Abu Jahal pun mengembalikannya.

Demikian kiranya penjelasan mengenai praktik politik ala Nabi Muhammad saw yang tujuannya adalah kemaslahatan umat, menghindarkan masyarakat dari kerugian, jauh dari praktik gratifikasi, bersifat adil, dan anti terhadap sikap pengkhianatan baik kepada kawan maupun lawan. Semoga kita semua dapat meneladani Nabi Muhammad saw. (Red/nu.or.id)

Bagikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *