JAKARTA – Sumpah Pemuda Indonesia yang digaungkan pertama kali pada tahun 1928 merupakan alasan sejarah persatuan bangsa Indonesia. Sejarah Sumpah Pemuda tersebut juga digunakan sebagai akar bagi bangsa Indonesia dalam merajut kerukunan.
Dalam merajut kerukunan di negara dengan multikulturalisme yang tinggi seperti Indonesia, kata Rektor Universitas Muhammadiyah (UM) Kupang, Zainur Wula tidak boleh menjauhkan perbedaan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia, termasuk keragaman agama. Sejarah Sumpah Pemuda telah membuktikan hal itu.
Tujuan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menurutnya juga didasari oleh kesadaran kolektif bangsa yang dahulunya merupakan dipisahkan kesukuan dan berbagai latar belakang yang berbeda. Dia mengajak kepada bangsa Indonesia kini untuk belajar dari Sumpa Pemuda yang lahir tanpa mempersoalkan identitas agama, suku, ras, dan golongan.
“Kemudian puncaknya bapak-ibu, 17 Agustus ’45. Apakah ketika kita merdeka itu mempersoalkan identitas-identitas itu lagi ? Tidak sama sekali”, ucapnya pada Rabu (25/5/2022) dalam acara Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah – ‘Aisyiyah ke-48 di UM Kupang sebagaimana dilansir dari muhammadiyah.or.id.
Termasuk dalam merajut kerukunan dalam keragaman dari sejarah Piagam Jakarta yang kemudian karena kebesaran hati tokoh-tokoh pendahulu, disepakati menjadi Pancasila sebagai falsafah Negara Indonesia.
Perbedaan yang dimiliki oleh bangsa ini bukan oleh tokoh-tokoh pendahulu bukan dijadikan alasan untuk saling terbelah, melainkan sebagai khazanah untuk saling melengkapi dan bersatu. Sejarah panjang pendirian NKRI ini menurut Zainur perlu untuk disyukuri dan menjadi acuan dalam menyatukan visi dan misi untuk membangun Indonesia kedepan.
“Berbagai macam perbedaan itu lalu kita satukan pandangan kita, visi-misi kita untuk keindonesiaan kita, nasionalisme kita untuk kita membangun secara lebih cepat tanpa mempersoalkan, membesar-besarkan tentang perbedaan-perbedaan tadi”. Tuturnya.
Zianur menjelaskan, dalam konteks Nusa Tenggara Timur, kerukunan dirajut oleh tradisi-tradisi lokal yang kuat mengakar. Kesepakatan adat istiadat yang meskipun tidak tertulis, menurutnya menjadi suatu yang sakral untuk senantiasa dihargai dan didukung. Aliansi tradisional masyarakat NTT sebagai kearifan lokal dalam merajut kerukunan.
“Meskipun kita beda agama ataupun keyakinan, tapi ketika pesta adat di Nusa Tenggara Timur dari semua pelosok daerah itu semua ramai-ramai ke sana. Jadi itu menjadi bagian yang sangat penting bagi kehidupan sosial, budaya masyarakat kita,” ungkapnya. (Red)
- PBB Tegaskan Israel Harus Segera Angkat Kaki dari Palestina - September 19, 2024
- Tiga Calon Rektor Universitas Indonesia Periode 2024-2029 - September 18, 2024
- Betulkah Habbatus Sauda Obat Segala Penyakit? - September 18, 2024