JAKARTA – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Ni’am Sholeh, mengungkapkan pentingnya memahami dua karakter utama dalam ajaran Islam, yakni tsawabit dan mutaghayyirat.
Tsawabit adalah ajaran-ajaran yang bersifat tetap dan tidak berubah oleh waktu atau kondisi, seperti prinsip-prinsip iman dan ibadah.
Sementara itu, mutaghayyirat adalah aspek hukum yang memungkinkan adanya perubahan, disesuaikan dengan konteks tertentu seperti perubahan waktu, tempat, dan situasi sosial.
“Islam memiliki karakter tsawabit dan mutaghayyirat, ada yang tidak berubah meskipun ada perubahan tempat, waktu, atau kondisi. Namun ada juga ajaran yang memang memungkinkan perubahan karena perubahan itu sesuai dengan kondisi yang berlaku,” ujar Kiai Ni’am, Saat menyampaikan materi dalam Standardisasi Dai ke-34 MUI IJjakarta, Selasa, (29/10/24).
Kiai Ni’am juga menjelaskan, bahwa MUI melalui Komisi Fatwa, memiliki peran penting dalam memberikan panduan hukum kepada umat Muslim di Indonesia.
Menurut Kiai Ni’am, Fatwa adalah jawaban atas pertanyaan atau masalah yang muncul di masyarakat, yang tidak seluruhnya tercakup dalam hukum tetap. Oleh karena itu, fatwa lebih fleksibel dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.
“Fatwa keagamaan yang ditetapkan oleh MUI berfungsi sebagai pedoman keagamaan bagi masyarakat muslim di Indonesia. Selain itu, fatwa-fatwa ini juga dijadikan acuan dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia,” kata dia.
Dia menjelaskan bahwa fatwa-fatwa MUI, yang awalnya hanya mengikat umat Islam secara syar’i, dalam beberapa kasus dapat diadopsi menjadi hukum yang mengikat secara hukum negara.
“Fatwa yang asalnya mengikat secara syar’i dapat bertransformasi mengikat secara undang-undang dalam beberapa hal,” kata dia.
Selain itu, Kiai Ni’am juga menjelaskan bahwa dalam konteks dakwah, para da’i seringkali berperan sebagai mufti, karena mereka sering dihadapkan dengan pertanyaan terkait masalah agama dari jamaah. Kiai Niam mengingatkan bahwa posisi ini memiliki tanggung jawab besar dan memerlukan kehati-hatian. Menyampaikan fatwa dengan mudah tanpa dasar yang kuat dapat membawa dampak negatif.
“Dai yang gampang-gampang memfatwakan urusan agama, berarti dia paling berani masuk ke dalam pintu api neraka,” ujar Kiai Niam, mengutip hadits yang memperingatkan bahayanya berfatwa tanpa ilmu yang memadai.
Oleh sebab itu, dia kembali menekankan pentingnya pemahaman posisi dan potensi sebagai mufti dalam menjalankan dakwah.
Menurut Kiai Niam, pengambilan fatwa melalui proses istinbat berbeda dari hukum fiqih yang umumnya bersifat deduktif. Pada masalah fiqih, ulama menggunakan pendekatan dari nash Alquran atau hadits untuk mengeluarkan hukum yang bersifat umum.
Sementara itu, dalam fatwa, masalah yang dihadapi menjadi titik awal, yang kemudian dipelajari dan dianalisis secara induktif sebelum keputusan atau panduan dikeluarkan.
“Fatwa ini bersifat faktual dan aktual, didasari atas masalah yang bisa jadi sangat personal, lalu dari masalah tersebut dilakukan kajian ijtihad untuk memberikan panduan,” ujarnya.
Di Indonesia, fatwa tidak hanya menjadi pedoman syar’i tetapi juga memiliki potensi untuk mengikat secara hukum dalam konteks negara. Sejumlah fatwa MUI telah dijadikan acuan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sehingga sifatnya menjadi lebih mengikat.
“Fatwa dalam konteks Indonesia bertransformasi dari yang bersifat ghair mulzim (tidak mengikat) menjadi mulzim (mengikat) dalam beberapa masalah keagamaan,” jelas Kiai Ni’am.
Dia menunjukkan bagaimana fatwa di Indonesia dapat berfungsi sebagai solusi atas berbagai tantangan hukum yang muncul seiring perkembangan zaman.
Memahami tsawabit dan mutaghayyirat sangat penting bagi dai dan masyarakat Muslim agar mampu menyesuaikan ajaran Islam dengan kondisi yang ada, kata Kiai Ni’am.
“Fatwa adalah bagian dari fiqih yang sifatnya fleksibel, di mana hukum bisa berubah mengikuti kondisi masyarakat,” ujar dia.
Dengan begitu, fatwa menjadi alat yang penting untuk menghadirkan solusi Islam yang relevan di tengah masyarakat.
Kiai Ni’am menyimpulkan bahwa dengan pemahaman yang benar terhadap fatwa, umat Islam di Indonesia dapat menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran Islam yang relevan dan dapat diterapkan di era modern ini. (Red)
- MUI: Perlu Pembatasan Medsos Bagi Anak Remaja dan di Bawah Umur - December 14, 2024
- UNICEF Desak Perlindungan Terhadap Anak-Anak di Jalur Gaza - December 14, 2024
- Invasi Israel Kembali Tewaskan 30 Warga Gaza, Korban Menjadi 44.835 Orang - December 13, 2024