TEL AVIV – Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich mengatakan bahwa Israel memiliki kesempatan dengan pemerintahan Presiden Amerika Serikat terpilih Donald Trump untuk mendorong apa yang ia gambarkan sebagai migrasi sukarela dari Jalur Gaza dan dalam waktu dua tahun jumlah penduduk Palestina dapat dikurangi setengahnya.

“Jalur Gaza harus diduduki dan populasinya harus dikurangi menjadi kurang dari setengahnya,” kata Israel Broadcasting Corporation (IBC) mengutip pernyataan Smotrich pada Senin (25/11/2024), sebagaimana dilansir dari Aljazeera, Selasa (26/11/2024).

Ini bukan pertama kalinya Smotrich yang beraliran sayap kanan menyerukan pendudukan Jalur Gaza dan pengusiran penduduknya.

Smotrich memiliki posisi ekstremis terkait warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza, yang telah memicu seruan Eropa untuk menjatuhkan sanksi terhadapnya dan Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir, serta kritik berulang kali dari sekutu Tel Aviv, Washington.

Dua pekan yang lalu, Smotrich mengatakan bahwa ia telah mengeluarkan instruksi untuk mempersiapkan perpanjangan kedaulatan Israel atas Tepi Barat, menjelaskan bahwa ia berharap dapat mengimplementasikan rencana ini tahun depan dan menyatakan harapannya bahwa Trump akan mendukung langkah ini setelah ia secara resmi menjabat pada bulan Januari.

Smotrich, yang mengepalai partai Zionisme Religius, dibesarkan di pemukiman Beit El dan masuk militer pada usia 28.

Dia adalah pendukung perang habis-habisan di Jalur Gaza dan Tepi Barat, dan menyerukan sebuah negara yang diatur oleh hukum agama yang mencakup seluruh wilayah Palestina.

Dia dikenal karena pandangan garis kerasnya yang menentang apa yang dikenal sebagai ‘Reformasi Yudaisme’, serta menentang kaum kiri Israel dan Palestina. Beberapa pengkritiknya percaya bahwa posisi dan komentarnya “tidak dipertimbangkan dengan baik”, sampai-sampai salah satu anggota stafnya mengatakan bahwa “ada kekurangan koordinasi antara otak dan mulutnya”.

Sementara itu, surat kabar Haaretz mengutip pejabat senior Israel yang mengatakan bahwa tentara Israel menuntut penduduk di bagian utara Jalur Gaza untuk mengosongkan rumah mereka, meskipun tentara Israel membantah telah menerapkan rencana para jenderal di Jalur Gaza utara.

Surat kabar tersebut mengatakan bahwa tentara Israel secara sistematis meratakan bangunan-bangunan yang tersisa di kamp pengungsi Jabalia.

Ditambahkan bahwa area kamp Jabalia tidak lagi layak huni.

Haaretz mencatat bahwa citra satelit baru-baru ini menunjukkan kehancuran yang luas yang disebabkan oleh operasi darat dan pengeboman udara Israel di kamp Jabalia.

Aljazeera telah mendapatkan foto-foto yang menunjukkan kehancuran yang meluas di kamp tersebut.

Agresi Israel di Jalur Gaza utara terutama menargetkan kamp pengungsi Jabalia dan Ben Lahia, tempat perlawanan Palestina menghadapi serangan tersebut.

Juru bicara tersebut menyerukan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan komunitas internasional untuk segera bertindak menyediakan tenda dan karavan bagi warga yang mengungsi di Gaza selama musim dingin.

Israel telah melancarkan perang genosida terhadap Jalur Gaza setelah serangan Hamas tahun lalu, menewaskan lebih dari 44.200 orang, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, serta melukai lebih dari 104.500 lainnya.

Memasuki tahun kedua genosida di Gaza, kecaman internasional terus meningkat, dengan berbagai tokoh dan lembaga menyebut serangan itu serta pemblokiran bantuan sebagai upaya yang disengaja untuk memusnahkan suatu populasi.

Sebelumnya pada Kamis (21/11/2024), Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional atas perang brutalnya di Gaza.

Jalur Gaza telah menjadi “kuburan” bagi anak-anak di tengah serangan tanpa henti Israel terhadap wilayah tersebut, ujar Kepala Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) pada Rabu (20/11/2024).

Israel melancarkan perang genosida terhadap Jalur Gaza setelah serangan Hamas tahun lalu, yang menewaskan hampir 44 ribu orang, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, serta melukai lebih dari 104 ribu orang.

“Gaza telah menjadi kuburan bagi anak-anak,” kata Komisaris Jenderal UNRWA, Philippe Lazzarini, dalam sebuah pernyataan untuk memperingati Hari Anak Sedunia.

“Mereka dibunuh, terluka, dipaksa melarikan diri, dan terampas dari rasa aman, kesempatan untuk belajar, dan bermain,” katanya. “Mereka telah dirampas masa kecilnya dan hampir menjadi generasi yang hilang karena mereka kehilangan satu tahun ajaran lagi,” lanjut Lazzarini.

Lazzarini mengatakan bahwa dunia telah berkomitmen untuk menghormati dan menegakkan hak-hak anak dengan mengadopsi Konvensi Hak Anak tiga dekade lalu.

“Hari ini, hak-hak anak Palestina dilanggar setiap hari,” tambahnya.

Unggahan Lazzarini disertai foto dua anak yang tampak lelah di Gaza mengenakan pakaian compang-camping. Gambar tersebut, yang diambil di sekolah yang dijalankan oleh UNRWA yang diubah menjadi tempat penampungan bagi keluarga pengungsi, menggambarkan penderitaan yang dialami anak-anak Palestina karena pendidikan dan keselamatan mereka terganggu oleh perang Israel.

Kepala UNRWA itu juga menyebutkan bahwa anak-anak Palestina di wilayah pendudukan Tepi Barat juga hidup dalam ketakutan dan kecemasan.

“Sejak Oktober tahun lalu, lebih dari 170 orang tewas di sana, sementara yang lainnya kehilangan masa kecil mereka di pusat penahanan Israel. Wilayah Palestina yang diduduki bukan tempat bagi anak-anak. Mereka pantas mendapatkan yang lebih baik, mereka pantas mendapatkan perdamaian, keadilan, dan masa depan yang lebih baik,” tambahnya.

Tahun kedua genosida di Gaza semakin mendapat pengakuan internasional, dengan banyak tokoh dan lembaga yang menyebut peristiwa tersebut sebagai upaya sengaja untuk memusnahkan suatu populasi. (Red/republika.co.id)

Bagikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *