BANDUNG – Berdakwah merupakan aktivitas mulia yang dirindukan oleh siapapun yang terpanggil untuk mengikuti jejak sang nabi tercinta Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam. Berdakwah bermakna upaya sungguh-sungguh dalam menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar sesuai dengan syariat yang Allah wahyukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Hal ini sesuai dengan apa yang diteladankan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya serta para pengikutnya yang taat mengikuti jejak langkahnya.

Untuk itu sejak Jumat (12/8/2022) hingga Minggu (14/8/2022), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) mengadakan Pelatihan Da’i Nasional. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian acara Mukernas Akademi Dakwah Indonesia (ADI) III DDII.

Pelatihan yang diadakan di Grand Guci Hotel, Kota Bandung ini mengangkat tema “Penguatan Mutu dan Peran Akademi Dakwah Indonesia untuk Selamatkan dan Bangun Indonesia dengan Dakwah”. Sebanyak 68 peserta dari 28 ADI se Indonesia mengikuti pelatihan tersebut.

Salah satu rangkaian acara pada forum ini yaitu tausiyah subuh. Hal ini merupakan bagian dari upaya penguatan para da’i yang turut hadir menjadi delegasi pertemuan ini.

Pada Sabtu, 13 Agustus 2022 tausiyah subuh disampaikan Ustadz Daud Gunawan selaku Ketua Majelis Syuro DDII Jawa Barat. Ustad Daud merupakan salah seorang murid pendiri DDII Mohammad Natsir. Ia aktif di DDII sejak awal lembaga ini berdiri.

Pada kesempatan kali ini Ustadz Daud menyampaikan beberapa hal penting yang merupakan sebagian dari warisan nilai yang pernah disampaikan Mohammad Natsir.

Pertama,  para da’i mesti memiliki karakter pejuang dengan tujuan untuk berjuang dengan ikhlas di jalan Allah. Sebab dengan begitu, Allah ridho dan memberi petunjuk. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al Quran, yaitu: “Dan, orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami. Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan, sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Ankabut: 69)

“Karakter para pendiri DDII itu sama, yaitu memberi dan tidak memiliki. Maksudnya, tidak mengejar dunia tapi fokus pada perjuangan dakwah seperti yang Allah gariskan dalam Al Quran. Karena itu da’i mesti menjaga nilai-nilai tersebut agar menjadi karakter para da’i. Dengan demikian, para da’i mampu menghadapi berbagai tantangan dakwah ke depan yang semakin kompleks,” ungkapnya.

Kedua, dakwah membutuhkan kurikulum khas. Hal itu diperlukan sebagai basis yang mengarahkan gerakan dakwah. Dengan adanya kurikulum yang khas, dakwah pun semakin menemukan konteksnya. Bahkan dengan demikian, dakwah juga mampu berinovasi. “Dakwah yang terus berhadapan dengan dinamika membutuhkan kemampuan inovasi. Inovasi membutuhkan ilmu. Oleh sebab itu, da’i  mesti mengilmui Islam. Sebab ayat iqra itu berlaku untuk semua usia, sampai akhir hayat. Da’i tidak boleh berhenti belajar walaupun sudah bergelar doktor,” lanjutnya.

Ketiga, para da’i mesti memperjuangkan, mendakwahkan, dan membela agama. Para da’i tidak cukup paham agama dan mendakwahkannya, tapi juga membelanya. Hal ini perlu dipertegas agar para da’i menyadari bahwa hidupnya bukan untuk dirinya tapi untuk berdakwah dan mendakwahkan Islam kepada umat manusia.

Ustadz Daud Gunawan pun mengutip firman Allah, “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwa mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.” (QS. at-Taubah: 20)

Keempat, hal lain yang perlu mendapat perhatian para da’i adalah penguatan dakwah pada aspek organisasi dan sektor birokrasi. Organisasi DDII dan ADI mesti dikelola dengan baik dan profesional. Para da’i mesti mampu menjaga hubungan baik dengan pengambil kebijakan, sehingga memudahkan jalan dakwah kepada masyarakat. Hal lain, para da’i juga mesti berdakwah dengan akhlak yang baik.

“DDII dan ADI mesti dikelola dengan baik sehingga mampu melahirkan para da’i atau pejuang yang berakhlak baik,” tegasnya.

Kelima, para da’i mesti menjaga ukhuwah Islamiyah dan berkarakter negarawan. Dengan demikian para da’i mesti menjadi perekat di antara keragaman umat Islam. Sebab para da’i adalah pelanjut perjuangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam. Karena itu, para da’i mesti menjaga kekokohan barisan umat termasuk berkarakter negarawan.

“Para da’i itu mesti mampu menjaga ukhuwah Islamiyah, jangan fokus pada satu komunitas umat Islam saja. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?” (QS. al-Shof: 10),” tegasnya.

Beberapa hal di atas merupakan bagian dari upaya DDII atau para da’i DDII dalam membenahi dan membangun Indonesia.  Kejelasan tujuan, konsistensi perjuangan, kematangan ilmu, dan ketegasan sikap para da’i merupakan modal penting dalam menjalankan peran dakwah di berbagai tempat. Para da’i mesti taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta tidak berpaling dari Allah. 

Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari-Nya, padahal kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. al-Anfal: 20)

Begitulah upaya sederhana para da’i dalam mengokohkan peran dakwahnya, baik untuk memperjuangkan dan mendakwahkan maupun membelanya. Hal ini menjadi modal yang menopang agenda penting yaitu menyelamatkan Indonesia dari berbagai keterpurukan, keterbelakangan, dan kebodohan.

Sebagai mayoritas umat Islam, terutama DDII memiliki tanggung jawab dalam menjaga keutuhan negara dan memastikan umatnya memiliki iman yang kokoh, akhlak yang mulia, dan mampu membela agamanya. Di samping itu menjaga karakter negarawan. Itulah yang dilakoni Mohammad Natsir selama hidupnya dalam upaya menyelematkan dan memajukan Indonesia. (hmd)

Bagikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *