Prof. Dr. (H.C.) K.H. Ma’ruf Amin (lahir 11 Maret 1943) adalah seorang ulama, dosen, dan politikus Indonesia yang saat ini menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak tanggal 20 Oktober 2019. Ma’ruf menyertai politik sejak terpilihnya sebagai anggota DPRD DKI Jakarta pada 1971 hingga menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat selama dua periode sejak 1997 sampai 2004. Setelahnya, ia aktif di Majelis Ulama Indonesia dan pada akhirnya ditunjuk oleh Joko Widodo untuk mendampinginya pada Pemilu Presiden 2019 dengan didukung oleh Koalisi Indonesia Kerja. Selain itu ia juga merupakan tokoh senior organisasi Nahdlatul Ulama sebagai Rais ‘Aam sejak 2015, dan menjadi Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama sejak ia mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden 2019.

Lahir dengan nama Ma’ruf al-Karkhi pada tanggal 11 Maret 1943, yang bertepatan pada tanggal 4 Rabiulawal 1362 Hijriyah di Desa Kresek, Tangerang, Batavia, dari pasangan Kyai Haji Mohamad Amin dan Hajjah Maimoenah. Ma’ruf terlahir dari keluarga yang sangat religius, bahkan ia masih memiliki garis keturunan dari Nawawi al-Bantani, ulama asal Banten dan juga masih keturunan Sultan Maulana Hasanuddin, Sultan Banten pertama yang memiliki nasab sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Ayahnya memberi nama “Ma’ruf al-Karkhi” bukan tanpa sebab, melainkan Kyai Mohamad Amin berharap Ma’ruf dapat menjadi ahli agama, seperti Abu Mahfudz Ma’ruf bin Firus al-Karkhi atau lebih dikenal dengan Ma’ruf al-Karkhi, seorang ahli sufi dari Persia. Nama “al-Karkhi” pada nama belakang Ma’ruf tidak bertahan begitu lama, karena tidak tercatat dalam dokumen-dokumen legal. Pada tahun-tahun berikutnya, nama yang dipakai adalah nama ayahnya, Amin. Sehingga namanya berubah menjadi “Ma’ruf Amin”.

Pada tahun 1955, Ma’ruf memperoleh pendidikan awalnya di Sekolah Rakyat Kresek dan bersamaan juga ia digemblengkan pengetahuan agama di Madrasah Ibtidayah Kresek, kemudian melanjutkan pendidikan menengah Madrasah Tsanawiyah (1958) dan Madrasah Aliyahnya (1961) di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, milik Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Dia disekolahkan di sebuah pondok pesantren di Banten tahun 1963. Setahun setelahnya, ia menempuh pendidikan tinggi pada tahun 1964 di Fakultas Ushuluddin Universitas Ibnu Khaldun, Bogor, dan berhasil memperoleh gelar sarjana filsafat Islam. Selepas tamat perguruan tinggi, ia sempat mendapat tawaran prajurit kepolisian sekitar tahun 1965. Akan tetapi, tawaran tersebut ditolaknya, bersamaan dengan datangnya penolakan dari pihak keluarganya.

Ma’ruf telah berumah tangga pada tahun 1964 dengan Siti Churiyah. Mereka dikaruniai delapan orang anak, diantaranya Siti Ma’rifah, Siti Mamduhah, Siti Najihah, Siti Nur Azizah, Ahmad Syauqi, Ahmad Muayyad, Siti Hannah, dan Siti Haniatunnisa. Ia dan keluarga kecilnya mulai menginjakkan kaki di Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara pada pertengahan tahun 1964. Saat itu, kariernya di bidang sosial dan politik sangat cemerlang. Namun, pada tanggal 21 Oktober 2013, Siti Churiyah meninggal dunia di Rumah Sakit Premier, Jatinegara, Jakarta Timur setelah 49 tahun pernikahan mereka. Tujuh bulan kemudian, pada tanggal 31 Mei 2014, Ma’ruf menikahi Wury Estu Handayani yang telah menjadi janda selama sekitar dua tahun. Keduanya menjalani taaruf secara singkat sebelum akhirnya menikah dalam upacara sederhana di Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat. Ia dikenal memiliki ciri khas memakai sarung yang melambangkan kebudayaan Muslim.

Tak lama setelah menyelesaikan program studi dari perguruan tinggi, Ma’ruf melakukan tugas dakwah di Jakarta pada 1964 dan menjadi guru sekolah di Jakarta Utara sejak 1964 hingga 1970. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai Dosen Fakultas Tarbiyah Universitas Nahdatul Ulama, Jakarta, tahun 1968 dan Direktur, sekaligus Ketua Yayasan Lembaga Pendidikan dan Yayasan Al-Jihad tahun 1976. Kiprahnya di Nahdlatul Ulama dimulai sewaktu dirinya menjabat sebagai Ketua Gerakan Pemuda Ansor ranting Koja yang pertama dengan menginisasi pembentukan grup drumben untuk meningkatkan kreativitas pemuda GP Ansor di bidang seni dan budaya, antara tahun 1964 sampai 1965. Selain itu, ia memimpin GP Ansor Cabang Tanjong Priok dari 1965 sampai 1966 dan Ketua Front Pemuda yang beranggotakan organisasi pemuda lintas partai dari 1964 sampai 1967. Dilanjut pada tahun 1966 hingga 1970, ia memimpin Nahdlatul Ulama Jakarta, lalu menjabat sebagai Wakil Ketua Nahdlatul Ulama wilayah Jakarta dari 1968 sampai 1976. Sebagai seorang pendakwah, Ma’ruf terlibat dalam Koordinator Dakwah Islam dengan menjadi anggotanya sejak tahun 1970 hingga 1972. Setelahnya, ia menjabat sebagai anggota Badan Amil Zakar, Infak, dan Sadaqah (Bazis) Jakarta sejak 1971 hingga 1977. Setelah itu, Ma’ruf menjadi anggota Pengurus Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta, antara tahun 1977 hingga 1989 dan memimpin Yayasan Syekh Nawawi Al-Bantani sebagai ketua umum tahun 1987.

Sejarah politiknya dimulai ketika terpilih sebagai anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Utusan Golongan sewaktu Nahdlatul Ulama masih aktif sebagai organisasi partai politik untuk periode 1971–1977, melalui Pemilu 1971 dengan anggota termuda pada masanya. Ia dilantik pada 14 Oktober 1971 dan memimpin sementara DPRD DKI Jakarta bersama dengan Sjamsidar Murdono dari Fraksi Golongan Karya. Selain itu, ia juga mengetuai Fraksi Utusan Golongan dari 1971 sampai 1973 dan Ketua Dewan Fraksi PPP dari 1973 sampai 1977. Ma’ruf kembali terpilih sebagai anggota DPRD DKI Jakarta di Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) periode 1977–1982, sekaligus menjabat Ketua Fraksi PPP dan pimpinan Komisi A. Di akhir masa jabatannya, Ma’ruf kembali ke kampus sebagai dosen dan aktivisme sosial. Pada tahun 1989, ia ditunjuk sebagai katib ‘aam, yakni posisi senior dalam syuriah atau dewan pimpinan tertinggi Nahdlatul Ulama sampai tahun 1994. Dia kemudian naik posisinya menjadi salah satu dari ra’is syuriah atau pemimpin (1994–1998) dan mengawasi kepemimpinan eksekutif Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Pasca reformasi di Indonesia pada tahun 1998, Ma’ruf menjadi penasehatm Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), serta bagi Gus Dur selama periode kepresidenannya di Indonesia dari 1999 sampai 2001. Ia kembali aktif dalam dunia politik usai melenggang ke Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) pada periode 1997–1999 yang terpilih di Fraksi Utusan Golongan. Ketika Partai Kebangkitan Bangsa dibentuk, Ma’ruf pada akhirnya berpindah partai pada tahun 1998. Di tahun yang sama, ia juga terlibat dalam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama sebagai anggota Mustasyar PBNU. Pada tanggal 1 Oktober 1999, Ma’ruf dilantik sebagai anggota DPR RI untuk daerah pemilihan Kabupaten Tangerang  setelah terpilih pada pemilu legislatif 1999 untuk masa jabatan 1999–2004 dan duduk sebagai Ketua Komisi VI DPR RI hingga 2001 lalu menjadi anggota Komisi II DPR RI. Sejak tahun 1990, Ma’ruf sudah menganggotai Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta menjadi Ketua Dewan Syariah Nasional dan Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat tahun 1996.

Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (tengah) dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Maruf Amin (kiri) sebelum memimpin rapat pleno Komite Nasional Keuangan Syariah di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (5/2). Presiden meminta masyarakat Indonesia dapat menjadi motor penggerak ekonomi syariah yang dapat memenuhi kebutuhan industri dan perdagangan syariah dalam dan luar negeri, serta penguatan badan wakaf mikro seperti di lingkungan pesantren. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama/18

Semasa menjabat anggota DPR RI periode 1999-2004, Ma’ruf menjadi anggota Komite Ahli Pengembangan Bank Syariah Bank Indonesia pada 1999 dan mengetuai Komisi Fatwa Majelis Ulama yang bertugas mengeluarkan pendapat hukum (fatwa), antara tahun 2001 sampai 2007. Selain itu, ia turut mendirikan Pondok Pesantren An-Nawawi, Tanara, Serang, Banten, tahun 2001. Awal berdirinya PKB, Ma’ruf menjabat posisi Ketua Dewan Syuro PKB sampai 2002. Pada Juli 2002, ia terpilih sebagai anggota Dewan Mustasyar PKB hingga mengundurkan diri setelah mendirikan Partai Kebangkitan Nasional Ulama pada tahun 2006. Dia tidak mengikuti pemilihan kembali untuk melenggang ke DPR RI pada tahun 2004 dan kembali ke pangkuan Majelis Ulama Indonesia untuk memimpin Ketua Harian Dewan Syariah Nasional MUI dari 2004 hingga 2010. Kemudian pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ma’ruf mengemban amanat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dari 2007 sampai 2014. Pada awal menjabat, ia ditempatkan di bidang Kehidupan Beragama hingga tahun 2009. Selanjutnya, pada 25 Januari 2010, Ma’ruf dilantik kembali menjadi anggota Wantimpres yang membidangi Kehidupan Beragama dan Pertanian. Menjelang akhir masa jabatannya sebagai Wantimpres, ia membidangi urusan Hubungan Antar Agama dari 2012 sampai 2014.

Sahal Mahfudh, Ketua Umum MUI petahana meninggal dunia pada 24 Januari 2014. Oleh karena itu, Din Syamsuddin dari Muhammadiyah yang ketika itu menjabat Wakil Ketua Umum ditunjuk oleh Dewan Pertimbangan MUI untuk menjabat posisi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Bersamaan dengannya, Ma’ruf ditunjuk pula sebagai Wakil Ketua Umum. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI. Sejak dibentuknya Komite Pengembangan Jasa Keuangan Syariah Otoritas Jasa Keuangan pada 2014, ia menduduki posisi ex-officio dengan tugas memberikan rekomendasi kebijakan strategis dan operasional di bidang pengembangan jasa keuangan syariah. Pada Agustus 2015, Ma’ruf mencalonkan diri untuk posisi ‘aam syuriah Nahdlatul Ulama yang setara dengan jabatan Ketua Dewan Pimpinan Tertinggi. Namun, ia mendapatkan posisi kedua dari pemilihan setelah posisi pertama dipegang oleh petahana, Mustofa Bisri. Dalam perkembangan yang signifikan, Bisri menarik namanya dari pemilihan dan Ma’ruf setelahnya memenangkan posisi Ra’is ‘Aam Syuriah dalam Kongres ke-33 Nahdlatul Ulama. Ia juga memimpin Majelis Ulama Indonesia, setelah terpilih sebagai ketua pada tanggal 27 Agustus 2015 melalui Musyawarah Nasional IX di SUrabaya, Jawa Timur, menggantikan Din Syamsuddin.

Pada 7 Juni 2017, oleh Presiden Joko Widodo, Ma’ruf dilantik sebagai anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila yang berganti nama pada tanggal 28 Februari 2018 menjadi Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Pada tanggal 6 September 2018, ia dinobatkan menjadi Ketua Harian Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah. Ma’ruf dinonaktifkan dari jabatan Ketua Majelis Ulama Indonesia pada 20 Oktober 2019, mengingat dirinya telah dilantik sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Selepas mengabdi sebagai Ketua Umum MUI, ia terpilih dalam Musyawarah X Majelis Ulama Indonesia sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI sejak 27 November 2020. Pada 23 Februari 2020, ia diangkat menjadi Ketua Harian Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2020 tentang Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah.

Ma’ruf dilantik sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2019. Berusia 76 tahun, 223 hari ketika dilantik, ia adalah wakil presiden tertua yang dilantik dalam sejarah Indonesia. Dalam pembagian kerja dengan Presiden Joko Widodo, ia menangani penanggulangan kemiskinan, kesejahteraan, usaha mikro kecil menengah, reformasi birokrasi, ekonomi syariah, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Pilpres 2019

Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengumumkan bahwa dirinya akan mencalonkan kembali dalam Pemilu Presiden 2019. Jusuf Kalla sebagai wakil presiden petahana tidak dapat mencalonkan diri kembali dikarenakan tidak memenuhi syarat untuk masa jabatan selanjutnya karena batasan masa jabatan yang ditentukan untuk jabatan presiden dan wakil presiden, mengingat Jusuf Kalla telah menjabat wakil presiden selama dua periode secara tidak berturut-turut (2004–2009 dan 2014–2019). Spekulasi mengenai siapa yang akan dipilih Jokowi sebagai pasangannya yang berfokus pada beberapa kandidat, termasuk Mahfud MD, seorang mantan Menteri Pertahanan Indonesia dan pernah memimpin Mahkamah Konstitusi sebagai ketua.

Pada 9 Agustus 2018, secara mengejutkan, Jokowi mengumumkan bahwa Ma’ruf akan menjadi pasangannya. Padahal, Mahfud dilaporkan tengah mempersiapkan diri untuk menjadi calon wakil presiden pendamping Jokowi, tetapi setelah didorong oleh beberapa partai konstituen dari koalisi pemerintahan Jokowi dan tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh, Ma’ruf dipilih sebagai gantinya. Menjelaskan keputusannya, Jokowi merujuk pada pengalaman Ma’ruf yang luas dalam urusan pemerintahan dan keagamaan.

Komisi Pemilihan Umum mengumumkan kemenangan Widodo dan Ma’ruf, dengan pasangan ini mendapatkan 55,5 persen suara pada 21 Mei 2019, meskipun status Ma’ruf sebagai Wakil Presiden terpilih sedang menunggu tuntutan hukum ke Mahkamah Konstitusi.

Sebagai ketua MUI, Ma’ruf memberikan dukungannya terhadap peraturan yang melarang pornografi dan mendukung keputusan yang melarang kegiatan Ahmadiyah. Selain itu, Ma’ruf “menyesalkan” keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak usulan larangan kegiatan homoseksual pada tahun 2017, alih-alih menginginkan “peraturan tegas”.

Pada 2012, Ma’ruf juga mengeluarkan rekomendasi agar umat Islam tidak mengucapkan Selamat Natal, dengan mengutip kontroversi terkait dengan perkataan tersebut. Namun, pada tahun 2018, ia menyatakan bahwa tidak pernah ada larangan eksplisit untuk mengucapkan Selamat Natal yang dikeluarkan oleh MUI, setelah tersiar sebuah video bahwa dia mengatakan Selamat Natal.

Mengenai terorisme Islam, Ma’ruf menyatakan bahwa pelaku bom bunuh diri tidaklah syahid, dan bahwa saat ini adalah era untuk intelektual, bukan perang fisik. Selama debat dalam pemilihan presiden 2019, ia menekankan pentingnya deradikalisasi dalam kontraterorisme.

Ma’ruf terlibat dalam bagian dari kontroversi seputar pemilihan gubernur Jakarta pada tahun 2017. Gubernur Jakarta saat itu Basuki Tjahaja Purnama, yang dikenal sebagai “Ahok”, menjadi sasaran dari banyak protes di Jakarta pada bulan November 2016. Sebagai tanggapan, Ahok menuduh bahwa Ma’ruf telah memihak dalam pemilihan karena melakukan panggilan telepon dengann Presiden Indonesia keenam Susilo Bambang Yudhoyono, di mana anaknya Agus Harimurti Yudhoyono maju melawan Ahok dalam pemilihan. Ahok kemudian meminta maaf kepada Ma’ruf melalui media sosial atas implikasi bahwa Ma’ruf telah dipengaruhi oleh tekanan politik.

Ma’ruf menerima permintaan maaf Ahok, dengan mengatakan bahwa masalah itu telah diselesaikan. Terlepas dari kesediaan Ma’ruf untuk membiarkan masalah ini beristirahat, sebuah organisasi yang dikenal sebagai Pengusaha Indonesia Muda melaporkan Ahok ke Bareskrim Mabes Polri karena diduga telah melecehkan Ma’ruf dan menyadap percakapan teleponnya dengan mantan Presiden Yudhoyono meskipun penolakan sebelumnya oleh tim kuasa hukum Ahok dari tuduhan yang terakhir.

Dalam sebuah wawancara terpisah, yang dilakukan setelah Ma’ruf terpilih sebagai kandidat wakil presiden, ia menyatakan bahwa ia menyesal bersaksi melawan Ahok dan menambahkan bahwa ia “terpaksa” untuk melakukannya.

Tanda kehormatan:

  • Bintang Republik Indonesia Adipradana (22 Oktober 2019)
  • Bintang Mahaputera Adipurna (22 Oktober 2019)
  • Bintang Mahaputera Adipradana (13 Agustus 2014)
  • Bintang Jasa Utama (22 Oktober 2019)
  • Bintang Kemanusiaan (22 Oktober 2019)
  • Bintang Penegak Demokrasi (22 Oktober 2019)
  • Bintang Budaya Parama Dharma (22 Oktober 2019)
  • Bintang Bhayangkara (22 Oktober 2019)

Akademik:

  • Doktor Kehormatan Bidang Hukum dan Ekonomi Syariah oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2012).
  • Guru Besar Kehormatan Bidang Ilmu Ekonomi Muamalat Syariah oleh Universitas Islam  Negeri Maulana Malik Ibrahim (2017).

(Red)

Sumber: Wikipedia

Bagikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *