JAKARTA – Indonesia terus mengejar ketertinggalan untuk menjadi negara maju. Salah satu tolak ukur negara maju yaitu pendapatan perkapita yang tinggi. Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengatakan untuk dapat meningkatkan pendapatan perkapita itu, maka perlu menghasilkan nilai tambah ekonomi dari berbagai komoditas. Oleh sebab itu, riset harus menjadi bagian penting dari upaya pemerintah untuk menjadi negara maju. 

“Untuk bisa memberikan nilai tambah itu, tentu kita perlu riset. Itu pula sebabnya negara maju risetnya kuat dan maju. Negara maju tidak mungkin tanpa riset yang kuat. Karena kalau tidak punya riset yang kuat, kita hanya bisa jualan bahan mentah saja. Nilai tambahnya rendah dan tidak signifikan,” ungkap Handoko dilansir dari laman BRIN, Sabtu (19/11/2022).

Namun demikian, Handoko tidak menutup mata jika riset di Indonesia saat ini masih jalan di tempat. Itu yang menjadi pemikiran dasar, lahirnya keputusan politik yang besar dari Presiden untuk membentuk BRIN. “Kita harus akui ada sesuatu yang kurang. Selama 50 tahun ini dari tahun 70-an itu, Malaysia bergerak cepat, Thailand juga bergerak cepat. Tapi sayangnya kita itu seperti jalan di tempat,” ucapnya.

Menurut Handoko, hal ini karena terdapat permasalahan fundamental riset yaitu rendahnya sumber daya manusia, infrastruktur dan anggaran. Tiga komponen input riset tersebut di Indonesia rendah, karena harus tercecer di berbagai lembaga litbang. “BRIN itu dibentuk untuk memecahkan permasalahan fundamental riset,” tandasnya.

Dari tiga komponen tadi, kata Handoko, sumber daya manusia berperan paling besar. Hanya saja saat ini, jumlah SDM unggul masih sedikit. Padahal kita memiliki potensi dengan jumlah SDM yang besar. “Kita harus akui masih punya banyak PR dalam mencetak SDM Unggul. Jadi kita harus memperbanyak percepatan juga untuk memperbaiki SDM Unggul yang memiliki kapasitas dan kompetensi,” ujarnya.

Handoko megatakan Indonesia tidak boleh lagi mengulangi kesalahan yang sama dengan hilangnya generasi periset unggul. Menurutnya, sejak Indonesia merdeka, kita pernah mengalami tiga kali kehilangan generasi periset. Pertama, saat Indonesia merdeka dengan kehilangan periset yang mayoritas orang belanda dan orang pribumi masih belum siap.

Kedua, saat setelah Gerakan 30S PKI, di mana banyak orang yang dikirim oleh Bung Karno ke berbagai negara, dan tidak bisa kembali karena situasi politik. Ketiga, saat era Pak Habibie dulu yang mengirimkan ribuan orang belajar ke berbagai negara. Namun bedanya, saat mereka kembali ke Indonesia, supporting system belum siap. Sehingga praktis hanya 30 persen saja yang tersisa dari ribuan alumni.

Hal ini, kata Handoko, harus menjadi pembelajaran supaya tidak mengulangi hal yang sama. Itu sebabnya BRIN melakukan penguatan supporting system untuk periset, penguatan ekosistem dan infrastrukturnya. Di antaranya melalui dua program utama BRIN yang sudah dilansir sejak dua tahun lalu, yaitu mobilitas periset dengan delapan skema, dari mulai untuk mahasiswa tingkat akhir S1 sampai postdoct, sampai profesor. Kedua hibah riset yang memiliki sembilan skema. 

“Itu sebenarnya dibuat untuk mencegah supaya mereka bisa bertahan. Kita sebenarnya juga menarik para diaspora dengan membuka 500 lowongan untuk lulusan PhD setiap tahun. Supaya mereka bisa bertahan, dan alhamdulillah dari sisi supporting system sudah komplet, karena kita sudah mengkonsolidasi sumber daya, anggaran dsb. Sehingga kita bisa menyediakan semuanya. Orang tidak lagi bingung ga punya alat misalnya, ga bingung anggaran, hibah riset ada semua bidang,” pungkasnya. (Red)

Bagikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *