MOHAMMAD ROEM, tokoh Masyumi ini bukan hanya pintar menulis, ia juga ahli diplomasi. Bila ia bicara, tokoh-tokoh Belanda mendengarkannya dengan takjub. Berulangkali ia terlibat dalam perjanjian Indonesia dan Belanda, di mana ia dan kawan-kawannya memenangkannya.
Gaya menulis Roem, berbeda dengan Natsir atau Hamka. Apabila Natsir banyak menulis tentang konsep dan Hamka banyak mengutip ayat/hadits, maka Roem lebih banyak cerita tentang realitas. Ia senang menulis dengan gaya bercerita. Bisa dikatakan ia termasuk ‘penulis terbaik’ yang dimiliki Indonesia. Tulisan-tulisannya mempunyai ‘ruh Islam’.
Misalnya ketika menceritakan tentang Haji Agus Salim, Roem bercerita bahwa suatu hari di tahun 1925, ia diajak ’ngaji’ oleh Kasman Singodimedjo dan Soeparno ke rumah Haji Agus Salim di Gang Tanah Tinggi, Jakarta. Ringkas cerita, jalan ke rumah Agus Salim itu becek bila kena hujan dan saat Kasman datang, Agus Salim Salim berkomentar: ”Hari ini Anda datang secara biasa. Kemarin peranan manusia dan sepeda terbalik.” Kasman menjelaskan ke Roem bahwa kemarin ia datang ke rumah Agus Salim, ia ditunggangi sepeda bukan ia menunggangi sepeda. Maka Kasman menjawab ke Agus Salim: ”Een leidersweg is een lijdensweg, Leiden is lijden.” (Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah, memimpin adalah menderita). (Lihat tulisan lengkap tentang Haji Agus Salim dalam Bunga Rampai Dalam Sejarah 3, Mohammad Roem, hlm. 29-59).
Ketika menggambarkan seorang guru pemimpin bagi bangsa Indonesia, Roem menggambarkan kepribadian Tjokroaminoto dengan rinci dan sangat bagus. Lihatlah bagaimana ia menulis tentang Tjokro: “Pak Tjokro yang penulis ingat senantiasa memakai pakaian Jawa tradisionil. Blankon, jas tutup, kain panjang dan sandal. Saudara Anwar Tjokroaminoto baru-baru ini menerangkan kepada penulis, bahwa ia pun hanya ingat ayahnya memakai pakaian itu.
Perkenalan kami, pemuda Islam terpelajar yang tergabung dalam Young Islamieten Bond (Serikat Pemuda Islam), dengan Pak Tjokro mulai di tahun 1925, sesudah JIB didirikan. Perkenalan pertama berlangsung di Jakarta di rumah Pak Haji A Salim yang menjadi penasehat JIB. Tapi Pak Tjokro hadir waktu pada akhir tahun 1924 di Yogyakarta, Pak Syamsyurijal mengambil insiatip untuk mendirikan perkumpulan itu, dalam sebuah ruangan yang diterangi dengan lampu teplok. Dan, Pak Tjokro ikut merestui pendirian itu.
Seorang pemimpin lain yang juga berkenalan dengan kami di rumah Pak Haji A Salim ialah Pak AM Sangadji. Kemudian hari kami, setidaknya penulis ini, juga berkenalan dengan lain-lain pemimpin PSII, baik di rumah Pak Salim, maupun di tempat lain, seperti Pak Abikusno, Pak Wondoamiseno, dan Pak Surjopranoto; tapi tiga orang yang tersebut dahulu itu, yang paling kami kenal.
Kombinasi tiga orang itu yang agak aneh tidak terlepas dari perhatian penulis. AM Sangadji berasal dari Maluku, orang Ambon pertama yang penulis kenal. Sebelumnya penulis mengira bahwa semua orang Ambon beragama Kristen. Mulailah penulis tahu bahwa di Maluku banyak orang Islam. Tapi orang Ambon yang ada di Jawa hampir semua beragama Kristen.
Pak Sangadji seorang yang gagah perkasa. Pakaiannya selamanya rapih, jas buka dengan dasi, celana, dan sepatu. Tapi tidak pernah kepala terbuka, selamanya memakai peci. Kumis melintang dan dada berbulu (yang disebut akhir ini tidak kelihatan).
Pak Haji Salim seorang Minangkabau memakai pakaian menurut model sendiri. Pakaian Haji Salim ini serupa dengan kemeja yang kita pakai sewaktu revolusi di Yogya. Mula-mula Pak Salim memakai Tarbus, kopiah berwarna merah, yang biasa dipakai oleh orang-orang Arab. Tapi sesudah peristiwa Tripoli, maka Tarbus itu yang semua “made in Itali” diboikot. Kemudian Pak Salim membuat peci model sendiri, yang dibuat dari kain serdadu (kain hijau). Peci itu mempunyai dua anak baju di bagian depan. Sesudah itu Pak Sangadji memakai kopiah model “OK”, demikian Pak Salim menamakan modelnya.
Menurut PF Dahler, seorang nasionalis Indonesia, pemimpin golongan Indo, Tjokroaminoto memiliki “een mole, krachtige baritone stem” (suara yang merdu dan berat kuat). [Baca: Amelz: HOS Tjokroaminoto, Hidup dan Perjuangannya, hal. 68, penerbit Bulan Bintang, 1952).
Istilah “baritone” mempunyai arti yang khusus dalam seni musik. Penulis ini pernah mendengarkan Pak Tjokro berpidato di rapat umum yang dihadiri oleh beberapa ribu orang. Dari tiga pemimpin yang penulis sudah sebut Tjokro, Salim dan Sangadji, masing-masing orator “par excellence”, ahli pidato ulung, yang mempunyai gaya dan ciri sendiri-sendiri.
Haji Agus Salim umumnya dipandang sebagai orator yang brilian. Sangadji mempunyai suara seperti geledek. Perlu diingatkan, bahwa generasi Pak Tjokro belum berbahagia hidup dengan mik dan pengeras suara. Menurut ingatan penulis, Pak Tjokro memang mempunyai keistimewaan. Orang di baris depan mendengar suara Pak Tjokro sama kerasnya dengan orang yang duduk di baris belakang, kecuali ia (juga–pen) mampu mengikat perhatian pendengar berjam-jam…
Kalau dengan perkataan tidak akan cukup untuk menggambarkan bagaimana Tjokroaminoto berpidato, penulis rasa orang dapat mengatakan, bahwa kalau orang pernah mendengar dan melihat Soekarno atau Harsono (anak Tjokroaminoto–pen) berpidato, kira-kira begitulah gaya dan nada Tjokroaminoto.” (Lihat Majalah Kiblat, Agustus 1972 dalam Buku “Bunga Rampai Dari Sejarah (II)”, Mohamad Roem, Bulan Bintang, 1977).
Lihatlah tulisan Roem ketika menulis tentang sahabatnya Kiai Abdul Mukti, yang pernah menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Madiun dan Ketua Pimpinan Pusat Masyumi Jakarta. Ia memberi judul: “Semangatnya Tak Kunjung Padam: Cuplikan dari Hidup Kiai Mukti”.
Roem menulis: “Waktu Pak Kasman, Bu Roem dan penulis sampai di kamar tidur Kiai Mukti di Rumah Sakit Islam Jakarta, ia sedang tidur. Kami tekankan kepada yang menjaga agar ia jangan dibangunkan. Kami merasa lega, tidak harus mengatakan sesuatu kepada yang sakit. Menengok orang sakit membawa kewajiban mengatakan sesuatu yang membesarkan hati, yang mengandung harapan. Tugas itu tidak mudah.
Badan Kiai Mukti sudah sangat kurus dan lemah. Pernafasan dibantu dengan zat asam yang disalurkan pipa lewat hidungnya. Cairan glucose dituang di badannya dengan pipa yang dimasukkan di pembuluh darah di lengannya.
Tapi ia bangun juga seolah-olah merasakan kehadiran kami. Dengan cepat pipa yang masuk hidung ia tarik, begitu juga pipa di lengannya. Dan, sebelum kami dapat mengatakan sesuatu Kiai Mukti sudah berbicara lebih dulu. Meskipun dengan pernafasan berat ia bercakap-cakap secara santai, percakapan itu ia arahkan kepada sebuah kalimat yang penulis tidak lupa: “Di hari-hari ini saya lebih menyadari arti iman kepada Tuhan.”
Kita yang sudah agak lama berkenalan dengan Kiai Mukti tahu bagaimana caranya Kiai Mukti menyampaikan buah pikirannya. Secara “matter of fact”, zakelijk, prosaic, biasa. Tidak secara persuasif tidak ada tekanan suara. Begitulah cara Kiai Mukti bicara. Kalau ada yang meyakinkan ialah karena isi yang dikatakan mengandung kebenaran. Dan, kebenaran tidak perlu dikatakan dengan kenaikan suara. Maka berlangsunglah percakapan, yang dimulai oleh Kiai Mukti. Saya sendiri menggunakan kesempatan itu untuk mengucapkan terima kasih atas kebaikannya, menerima bayam dan tomat waktu bersama-sama di Rumah Tahanan Militer tahun 1965. Bayam dan tomat itu Kiai Mukti sendiri yang menanam. Hasilnya tidak habis dimakan sendiri…
Pertama kali penulis melihat Kiai Mukti ialah di tahun 1925. Sehubungan dengan kunjungan Pengurus Besar Muhammadiyah di Kudus, maka Muhammadiyah di Kudus, maka Muhammadiyah cabang Kudus mengadakan acara khusus. Antara lain Hizbul Wathon berbaris dengan tambur dan trompet menyelusuri beberapa Jalan Raya di Kota Kudus. Kejadian itu sangat menarik perhatian rakyat. Akhirnya anak-anak dan juga orang tua yang menonton ikut jalan di belakang barisan dengan jumlah lebih besar.
Dengan kebetulan sekali penulis berada di Kudus dan menemukan dirinya di tengah-tengah rakyat yang ikut berjalan di belakang barisan Hizbul Wathon. Jika dalam perjalanan itu ada tempat yang agak luas maka barisan berhenti. Rakyat yang menonton tambah banyak lagi. Kesempatan itu dipergunakan untuk bertabligh atau berdakwah. Kiai Mukti yang pada waktu itu menjadi Ketua Cabang Kudus memimpin acara-acara.” (Lihat Bunga Rampai Dari Sejarah (3), Mohammad Roem, Bulan Bintang, 1983, Hlm. 11-13).
***
Mohammad Roem lahir di Desa Klewongan, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah pada 16 Mei 1908. Ia lahir sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Djulkarnaen Jayasasmito, ibunya bernama Siti Tarbiyah.
Pendidikannya dimulai di Volkschool (Sekolah Rakyat, sekolah dasar di masa Belanda) di desa kelahirannya. Ia kemudian melanjutkan ke HIS (Holland Inlandsche School) Temanggung sampai kelas III, dan diteruskan ke HIS Pekalongan. Tamat dari HIS pada 1924.
Semangat perjuangan Roem mulai bersemi sejak di HIS. Kisahnya bermula tatkala seorang gurunya yang berkebangsaan Belanda menghardik Roem, “Zeg, Inlander!”. Dasar pribumi, begitu kira-kira artinya. Roem sangat tersinggung dihardik demikian. Sebagai orang pribumi ia merasa dirinya dihina dan dilecehkan. Ia kemudian teringat sejumlah papan larangan di gedung-gedung bioskop, di rumah makan, dan lain-lain tempat yang mengharamkan orang pribumi masuk.
Penghinaan itu belum selesai. Di waktu istirahat ada seorang murid Belanda yang mendorong-dorong tubuh Roem sambil mengolok-olok, “Inlander! Inlander!” Akibat dorongan itu Roem jatuh terjerembab. Tapi ia segera bangkit lalu dikejarnya anak Belanda itu. Setelah tertangkap ditinjunya perut si anak bule itu hingga muntah-muntah.
Peristiwa itu sangat membekas pada diri Roem. Ia kemudian bertekad untuk memerdekakan bangsanya agar tak lagi dihina bangsa asing. Untuk mewujudkan niatnya itu sambil bersekolah Roem kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa). (Lihat Hidayatulah Edisi 12/XV, 2003 dan http://serbasejarah.wordpress.com/2009/06/17/mohamad-roem-pemimpin-tanpa…)
Mula-mula Roem bersemangat di kelompok pemuda itu. Namun belakangan ia tidak betah berada di lingkungan Jong Java, karena aspirasi Islam tidak tertampung di situ, ia bersama Syamsuridjal dan beberapa tokoh lainnya memilih keluar, lalu pada tahun 1925 mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) atau Himpunan Pemuda Islam.
Dalam JIB ini Roem dipercaya menjadi salah seorang anggota pimpinan pusatnya. Kemudian pada tahun 1930, ia menjadi ketua Panitia Kongres JIB di Jakarta. Ketika JIB membentuk kepanduan (Natipij) ia menjadi ketua umumnya.
Pada tahun 1930 Roem tamat dari Algemene Middlebare School (AMS) atau sekolah menengah atas. Ia kemudian melanjutkan sekolah ke Rechts Hoge School (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum. Dari perguruan tinggi tersebut ia berhasil meraih gelar Mester in de Rechten (Mr) atau Sarjana Hukum pada tahun 1939. Skripsinya tentang Hukum Adat Minangkabau.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Roem dipercaya sebagai Ketua Muda “Barisan Hizbullah” di Jakarta. Barisan Hizbullah adalah organisasi semi-militer di bawah naungan Masyumi.
Oleh Pemerintahan Soekarno, ia mendapat amanah menjadi anggota tim juru runding RI dalam perundingan Renville 17 Januari 1948. Kemudian, seperti telah disinggung di atas, Roem diangkat sebagai ketua juru runding RI dalam perundingan Roem-Royen pada tanggal 14 April 1949. Perundingan tersebut dinilai berhasil karena telah mendorong segera terselenggaranya Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda tahun 1949.
Di masa berikutnya Roem pernah menjabat sebagai menteri dalam negeri dalam kabinet Natsir (1950-1953) serta pernah juga menjadi wakil perdana menteri dalam kabinet Ali Sastroamijoyo (1956-1957).
Pada masa Demokrasi Terpimpin, terjadi konflik antara Masyumi dengan Presiden Soekarno. Apalagi kemudian beberapa pemimpin Partai Masyumi, seperti Natsir bergabung dalam PRRI.
Sejak Partai Masyumi membubarkan diri, karena dipaksa Soekarno, pada tanggal 17 Agustus 1960, Roem tidak lagi memegang jabatan di pemerintahan. Ia kemudian memusatkan perhatian pada penulisan buku dan penelitian sejarah perpolitikan di Indonesia serta bidang ilmiah lainnya.
Kegiatan ini tidak berjalan lancar, karena pada tanggal 16 Januari 1962, ia bersama-sama dengan beberapa tokoh Masyumi dan PSI ditahan pemerintah tanpa pengadilan. Mereka dituduh oleh Pemerintahan Presiden Sukarno terlibat peristiwa Cendrawasih, yakni peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di Makassar.
Roem dan kawan-kawan bisa keluar dari tahanan pada tahun 1966 setelah pemerintahan Soekarno goyang usai pemberontakan PKI tahun 1965. Pada tahun 1969 Roem sempat hampir kembali ke kancah politik setelah terpilih sebagai ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Ini adalah partai ‘jelmaan’ Masyumi yang didirikan oleh para mantan kader Masyumi. Sayangnya Soeharto, presiden waktu itu, tidak menyetujui. Soeharto khawatir, jika dipimpin Roem, Parmusi bisa menjadi partai besar seperti Masyumi dulu, hingga menyaingi Golkar. Atas desakan pemerintah, terpaksa Roem batal jadi Ketua Parmusi, digantikan oleh Djarnawi Hadikusumo.
Sejak itu Roem betul-betul undur diri dari dunia politik praktis. Kemudian bersama-sama M Natsir dan kawan-kawan mantan kader Masyumi lainnya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di tahun 1970-an. Di tempat inilah kakek dari almarhum Adi Sasono ini berkhidmat bersama para warga Bulan Bintang.
Suatu ketika Amien Rais dalam wawancaranya dengan majalah Panji Masyarakat (no. 379/1982) menyatakan tidak ada negara Islam dalam Al-Quran dan as-Sunnah, “Oleh karena itu tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam,” kata Amien Rais. Atas pandangan Amien itu kemudian Roem mengirimkan tanggapan ke majalah yang sama. Roem membenarkan, bahwa memang tidak ada negara Islam dalam nama, namun secara substansial ada.
“…Pada akhir hayat Nabi, pada saat Surat Al-Maidah ayat 3 diwahyukan, maka sudah tumbuh sebuah masyarakat yang dibangun oleh dan di bawah kepemimpinan Nabi sendiri, yang tidak diberi nama khusus oleh Nabi, akan tetapi sudah mempunyai ciri-ciri sebagai negara, sedang hukumnya oleh Tuhan sudah dinamakan sempurna… Saya rasa selama tidak lebih dari tiga bulan itu di dunia pernah ada ‘Negara Islam’ atau Islamic State, tidak dalam nama, melainkan dalam substance, dalam hakikatnya.”
Sesudah itu Nurcholish Madjid yang sedang berada di Chicago menyuratinya, sehingga berlangsung korespondensi antara mereka berdua selama beberapa bulan. Setelah korespondensi berakhir, Mohammad Roem dipanggil ke hadirat Allah pada 24 September 1983.
Pada tahun 1997 kumpulan korespondensi itu plus wawancara Amien Rais dengan majalah Panji Masyarakat serta tanggapan Roem dibukukan dan diterbitkan oleh Adi Sasono, lalu diberi judul “Tidak Ada Negara Islam; Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohammad Roem.” (Lihat Hidayatulah Edisi 12/XV, 2003 dan http://serbasejarah.wordpress.com/2009/06/17/mohamad-roem-pemimpin-tanpa…)
Judul buku itu kacau. Seolah-olah Roem menafikan keberadaan negara Islam. Padahal sesungguhnya, sebagaimana kutipan di atas, Roem mengakui pernah ada negara Islam, meski tidak dinamakan Negara Islam, yakni pemerintahan yang dipimpin oleh Rasulullah SAW.
Walhasil, kini kapan akan muncul generasi model Roem lagi? Generasi yang membuat tokoh-tokoh Barat (Belanda) bertekuk lutut karena kata-kata diplomasinya yang hebat.
Wallahu alimun hakim.
*Nuim Hidayat, dikutip dari buku Tokoh Tokoh Islam yang Melukis Indonesia
- DSN MUI dan DPS Mitra Utama Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah - October 13, 2024
- Sekitar 90 Persen Anak-Anak di Gaza tidak Bisa Mengakses Makanan yang Bergizi - October 13, 2024
- Malaysia Mendominasi Kampus di Asia Tenggara Terbaik 1.000 Dunia Versi THE WUR 2025 - October 13, 2024