JAKARTA – Pemerintah diminta untuk bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), bukan justru sibuk mencari kesalahan orang tua yang sebenarnya tengah berupaya memperoleh hak pendidikan bagi anak-anaknya. Sistem seleksi PPDB saat ini berlangsung dinilai tidak adil dan melanggar amanat konstitusi.
Dikutip dari berbagai sumber setidaknya ada empat permasalahan pokok yang muncul akibat ekses minimnya sarana pendidikan sekolah negeri pada setiap jenjangnya. Bahkan banyak sekali modus yang terjadi dalam pelaksanaan PPDB.
Pertama, yang tadinya berkecukupan atau kaya mendadak miskin agar bisa masuk lewat jalur afirmasi. Kedua, yang tadinya tempat tinggalnya jauh dari sekolah yang dituju mendadak jadi dekat agar bisa diterima lewat jalur zonasi. Ketiga, yang tadinya kemampuan prestasi akademiknya biasa-biasa saja mendadak jadi pintar dengan nilai yang mentereng agar bisa diterima melalui jalur prestasi akademik. Keempat, yang tadinya tempat kerja orang tuanya berada di luar daerah atau jauh dari sekolah yang dituju mendadak pindah domisili karena tugas sehingga bisa diterima di sekolah yang dituju.
Belum lagi banyak cerita-cerita di balik itu. Karena seputar PPDB selalu menyisakan keluhan para orang tua setiap tahunnya. Misalnya saja ada suara-suara yang mengatakan bisa masuk dengan cara lewat jalur belakang.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, lewat keterangannya, Senin (10/7/2023), mengakatan, pihaknya sepakat bahwa kecurangan itu tidak boleh dilakukan, tapi bagaimana dengan kesengajaan pemerintah melepas tanggung jawab soal pendidikan.
Menurut Ubaid, mendapatkan akses ke sekolah adalah hak semua warga negara Indonesia. Pemerintah harus memastikan itu, bukan malah melakukan seleksi yang menghasilkan ada yang lolos dan ada yang gagal.
Ubaid mengatakan, sistem seleksi PPDB saat ini tidak berkeadilan dan sudah jelas melanggar amanat konstitusi. Pada pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan pasal 34 ayat 2 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), kata dia, jelas termaktub pemerintah berkewajiban untuk memberikan jaminan dan kepastian semua anak Indonesia mendapatkan akses pendidikan yang layak dan berkeadilan. Tapi, saat ini jaminan itu tidak ada.
“Nah, sekarang jaminan itu tidak ada, yang ada malah jaminan mayoritas pendaftar tidak lulus seleksi, karena jumlah kursi sekolah negeri tak sebanding dengan jumlah pendaftar,” kata Ubaid seperti dikutip dari republika.co.id.
Karena itu, dia menilai, orang tua berhak untuk menggugat pemerintah dan pihak sekolah. Berdasarkan pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.
“Kebijakan sistem seleksi ini jelas melanggar konstitusi, dan juga menimbulkan banyak kerugian yang dialami oleh siswa dan orang tua, maka orang tua berhak untuk mengajukan gugatan di meja hijau,” kata dia.
Ubaid kemudian merekomendasikan agar sistem seleksi PPDB diganti dengan sistem undangan. Menurut dia, dengan adanya data jumlah anak usia sekolah, yang lulus jenjang SD, SMP, dan SMA semestinya mereka langsung diberikan undangan untuk bisa lanjut sekolah, bukan justru diminta berebut bangku sekolah dengan kemungkinan rata-rata kegagalannya 60 persen di tingkat SMP dan 70 persen di tingkat SMA.
“Contoh sederhananya adalah seperti terjadi saat musim pemilu, semua rakyat dapat undangan untuk memberikan suara di TPS, jadi tidak perlu lagi seleksi masuk TPS, karena semua punya hak yang sama,” kata Ubaid.
Menurut dia, PPDB sistem undangan bisa diterapkan berbasis hak anak berdasarkan zonasi dan pemerataan kualitas sekolah. Agar semua terjamin bisa mendapatkan sekolah yang layak, tentu pemerintah harus melibatkan swasta karena daya tampung negeri yang terbatas, yakni hanya mampu menampung sekitar 40 persen di SMP dan 30 persen di SMA dari total kebutuhan.
Penerapan ini, mensyarakatkan dua hal utama. Pertama, kesepakatan pemerintah dan swasta soal pembiayaan yang mesti ditanggung pemerintah. Kedua, pemerataan kualitas supaya tidak terjadi penumpukan di sekolah-sekolah tertentu yang dianggap favorit atau unggulan.
Sementara itu Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota Bekasi Tri Adhianto Tjahyono meminta jajarannya memantau ketat jangan sampai ada manipulasi data untuk mengurus Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) online. Tri menyinggung, kekacauan yang terjadi di PPDB online di beberapa sekolah SMAN/SMKN di Kota Bekasi, salah satunya seperti yang terjadi di SMAN 1 Kota Bekasi.
“Hari ini saya lihat di SMAN 1 namanya Siti Aisyah semua dengan alamat yang berbeda,” kata Tri Adhianto Tjahyono, saat memberikan amanat dalam apel, Senin (10/7/2023).
Menurut dia, semua perangkat daerah mulai dari tingkat Dinas Pencatatan Sipil, Kelurahan dan kecamatan harus sinergi mengatasi kecurangan PPDB Online di semua tingkat sekolah di wilayah Kota Bekasi. Perangkat daerah Pemkot Bekasi harus mencari solusi bagaimana calon peserta didik masuk sekolah yang dekat dengan rumanya.
“Bagaimana sekolah-sekolah yang hanya dalam lingkaran 400 meter itu dinyatakan sudah penuh,” katanya seperti dikutip dari republika.co.id. (Red)
- Pemerintah Palestina Desak Warganya di Gaza Utara Menentang Perintah Evakuasi Israel - October 12, 2024
- Israel Kembali Serang Lebanon, 22 Orang Tewas - October 11, 2024
- MUI Kembali Serukan Boikot Produk yang Terafiliasi dengan Israel - October 11, 2024