JAKARTA – Pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Kepastian kenaikan itu sudah diumumkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen terus menuai penolakan dari masyarakat dan berbagai pihak. Dihimpun dari berbagai sumber, Jumat (22/11/2024), berikut penolakan kenaikan PPN tersebut.

Plt Ketua Pengurus Harian YLKI Indah Suksmaningsih menyatakan kebijakan tersebut akan memberi beban tambahan bagi masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi. 

Ribuan masyarakat Indonesia mendesak pemerintah untuk membatalkan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% yang akan diberlakukan pada awal 2025 mendatang. Penolakan ini tergambar dari adanya petisi penolakan PPN 12% yang telah ditandatangani ribuan masyarakat. 

Hingga Jumat (22/11), petisi online di platform Change.org telah ditandatangani 5.081 orang. Petisi berjudul “Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!” tersebut sebagai bentuk protes masyarakat terhadap pemerintah terkait kebijakan yang dinilai membebani masyarakat, khusunya kelas menengah. 

Ekonom Segara Institute, Piter Abdullah, menilai perekonomian negara saat ini sedang mengalami perlambatan atau slow down. Hal ini dibuktikan dengan anjloknya daya beli masyarakat. Oleh karena itu, kata Piter, menaikkan PPN hanya akan menimbulkan daya rusak yang lebih besar karena mengakibatkan terjadinya inflasi harga-harga barang.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan bahwa saat ini dunia usaha sedang mengalami stagnasi dari segi penjualan. Ia menyebutkan, setidaknya 4 dari 10 pengusaha saat ini bisnisnya jalan di tempat.

Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Joko Suranto memprediksi bakal terjadi penurunan tren penjualan karena semakin melemahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan PPN, khususnya di sektor industri properti.

Berdasarkan Penelitian Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Muhammad Anwar, kenaikan PPN secara tidak langsung akan meningkatkan biaya operasional maupun produksi dari perusahaan. Hal ini disebabkan sebagian besar bahan baku dan layanan yang mereka gunakan juga akan dikenakan tarif PPN yang lebih tinggi.

Chief Economist atau Kepala Ekonom Bank BCA, David Sumual, memastikan bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan berakibat langsung terhadap kenaikan harga barang-barang. David memprediksi, setidaknya akan ada kenaikan harga barang sekitar 9 persen imbas kenaikan PPN.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai dengan pendapatan riil yang masih rendah dan besaran upah minimum yang jauh dari kata cukup, sulit bagi masyarakat untuk melakukan belanja. Perilaku masyarakat yang menahan untuk belanja ini yang menurutnya berbahaya.

Penolakan di Media Sosial

Media sosial dipenuhi seruan penolakan kenaikan PPN menjadi 12%, dengan berbagai pesan bernada tajam seperti:

• “Menarik Pajak Tanpa Timbal Balik Untuk Rakyat Adalah Sebuah Kejahatan.”
• “Jangan Minta Pajak Besar Kalau Belum Becus Melayani Rakyat.”
• “Jangan Kebiasaan Malakin Rakyat!”
• “Bebankan Pajak Besar Untuk Pembalak Hutan, Pengeruk Bumi, dan Industri Tersier. Jangan Palak Rakyat Terus-terusan.”

Penolakan ini menunjukkan keresahan masyarakat terkait beban pajak yang dianggap tidak sebanding dengan layanan publik yang diterima.

Sehingga, pemerintah diharapkan lebih bijak dalam menentukan kebijakan pajak, dengan memperhatikan kondisi masyarakat secara luas. Di tengah protes ini, klarifikasi dari pihak berwenang diharapkan dapat meredakan keresahan publik sekaligus memberikan pemahaman yang lebih baik tentang urgensi kebijakan tersebut. (Red)

Bagikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *