JAKARTA – Anggota DPD RI Abdul Kholik menegaskan, penundaan Pemilu 2024 sangat berbahaya bagi demokrasi. Selain itu juga akan membahayakan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia.
Abdul Kholik mengemukakan hal itu saat Webinar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia tentang telaah kritis usul perpanjangan jabatan presiden dan penundaan pemilu, Sabtu (5/3/2022).
“Wacana penundaan Pemilu yang dimunculkan sejumlah pimpinan partai politik dinilai membahayakan demokrasi dan sistem ketatanegaraan kita. Membahayakan karena akan merusak tatanan demokrasi yang sudah terbentuk dan berjalan baik, dibawa ke arah ketidakpastian. Apalagi jika terjadi penundaan dan perpanjangan jabatan tidak ada jaminan pula akan menjadi baik. Sebaliknya apabila kondisi memburuk justru berpotensi terjadi kekacauan dan konflik, ujarnya.
Lebih lanjut dikemukakan Abdul Kholik, tidak ada yang lebih baik dari mentaati konstitusi agar Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun. Indonesia memiliki sejarah panjang sukses menyelenggarakan Pemilu sejak tahun 1955.
“Kenapa tiba-tiba muncul keinginan menunda Pemilu. Ini jelas ahistoris dan terindikasi hanya keinginan segilintir kelompok semata. Terbukti hasil survei yang dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat menolak penundaan Pemilu. Jadi alasan menunda Pemilu sangat sumir dan tidak memiliki relevansi sama sekali.”
Sistem ketatanegaraan menurutnya juga terancam ketika Pemilu ditunda yang berimplikasi pada jabatan Presiden dan lembaga lainnya yang sudah barang tentu juga akan diperpanjang. Selain itu soal otoritas lembaga mana yang menetapkan penundaan dan perpanjangan jabatan, juga bermasalah.
“Lalu apa dasarnya untuk menetapkan dan mengisi, karena kelembagaan negara seperti Presiden, DPR, DPD, dan DPRD, didasarkan hasil Pemilu. Jadi sangat problematik bagi sistem ketatanegaraan dan berisiko terjadi deligitimasi dan gugatan keabsahan kelembagaan negara apabila diperpanjang,” tandas Abdul Kholik.
Penyederhanaan dan Efisiensi Penyelenggaraan Pemilu
Kalau salah satu alasan penundaan yaitu mahalnya biaya Pemilu jelas tidak relevan. Sebab anggaran yang diajukan oleh KPU sekitar Rp. 86 triliun, tidak seberapa dibandingkan dengan anggaran proyek pemerintah, sehingga alasan ini sangat tidak logis. Anggaran Pemilu masih bisa ditinjau dengan skema penyederhanaan tahapan tanpa mengurangi kualitas Pemilu.
Penyederhanaan ini dapat dilakukan karena adanya fakta empiris sudah berubahnya variabel tahapan dan fakta inefisiensi selama pelaksanaan Pemilu sebelumnya. Penyerderhanaan tersebut khususnya terkait tahapan penetapan daftar pemilih tetap (DPT) yang disingkat dari lima tahap, menjadi dua tahap karena sudah lengkap data E-KTP. Selanjutnya tahap pencalonan juga dapat disederhanakan. Termasuk soal saksi di mana dapat dioptimalkan dengan menggunakan pengawas lapangan yang ada di setiap TPS, yang dapat diakses oleh semua peserta Pemilu.
“Kalau dalam hal penyelenggaraan Pemilu dihadapkan pada tantangan tenaga pelaksana, di era model kampus merdeka dan merdeka belajar, mahasiswa bisa diarahkan untuk menjadi relawan Pemilu. Artinya tidak ada alasan yang kuat dan dapat diterima untuk menunda Pemilu. Mari kita jaga bersama demokrasi yang sudah berjalan baik dan diakui dunia sehingga mengarah pada sistem pemerintahan yang kuat dan demokratis,” tegas Abdul Kholik. (Red)
- Sangat Keji, Israel Merampas Hak Belajar Anak-Anak Palestina - November 3, 2024
- Puluhan Warga Palestina Tewas Akibat Serangan Israel di Gaza Tengah - November 3, 2024
- Timnas Indonesia Siapkan 27 Pemain Hadapi Jepang dan Arab Saudi - November 2, 2024