JAKARTA – Dunia hukum, khususnya yang berkaitan dengan konstitusi terus diwarnai keanehan, Bahkan, sepertinya dagelan-dagelan, layaknya dagelan politik karena mendekati Pemilu dan Pilpres 2024. Apa saja bisa terjadi di luar nalar dan akal sehat.
Bahkan ada hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dibuat bingung oleh rekan-rekannya sesama hakim. Apakah sudah separah itu negeri ini?
Dalam pembacaaan putusannya terkait gugatan mengenai batas umur sebagai persyaratan untuk maju sebagai Capres dan Cawapres, MK mengabulkan sebagian uji materi terhadap UU Pemilu terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A Almas. Empat hakim konstitusi berbeda pendapat atau dissenting opinion dalam putusan ini.
Adapun keempat hakim konstitusi tersebut ialah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo. Dalam pertimbangnnya, Saldi Isra mengaku heran dengan perubahan putusan MK yang dinilai sangat cepat.
“Saya hakim konstitusi Saldi Isra memiliki pandangan berbeda atau dissenting opinion. Menimbang bahwa terhadap norma yang termaktub dalam pasal 169 huruf q Undang-Undang 7/2017 amar putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 a quo menyatakan ‘persyaratan menjadi calon presiden dan wapres adalah q: berusia paling renda 40 tahun’, dimaknai menjadi ‘persyaratan menjadi capres dan cawapres adalah q ‘berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pilihan kepala daerah’,” ujar Saldi Isra di sidang MK, Senin (16/10/2023).
Saldi, yang juga Wakil Ketua MK, mengaku bingung soal adanya penentuan perubahan keputusan MK dengan cepat. Menurutnya, hal tersebut jauh dari batas penalaran yang wajar.
Saldi Isra mengungkapkan sikapnya mengenai beberapa putusan permohonan ihwal batasan usia capres-cawapres pada Senin (16/10) yang terkesan aneh. Saldi mengaku dirinya bingung karena putusan MK dinilai berubah-ubah dalam waktu dekat.
“Bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini,” kata Saldi.
Kebingungan yang dimaksud oleh Saldi adalah mulanya putusan MK menolak permohonan PSI yang meminta batasan usia capres-cawapres turun dari 40 tahun menjadi 35 tahun. Namun, setelah putusan itu, MK memutuskan menerima sebagian atas permohonan Almas Tsaqibbiru Re A, mahasiswa UNS yang mengajukan minimal usia capres-cawapres 40 tahun atau berpengalaman menjadi kepala daerah.
“Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” ungkap Saldi.
Saldi menjelaskan, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023), Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya. Dengan adanya putusan itu, sadar atau tidak, gugatan yang diajukan PSI, Partai Garuda, Wagub Jawa Timur Emil Dardak Dkk menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
“Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari. Perubahan demikian tidak hanya sekadar mengenyampingkan putusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat. Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?,” jelas dia.
Diketahui, secara keseluruhan terdapat tujuh permohonan untuk menguji batas minimal usia calon Presiden dan Wakil Presiden dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang diputus hari ini dimana tiga perkara di atas (Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023) adalah permohonan atau perkara gelombang pertama.
Dari belasan perkara tersebut, hanya perkara gelombang pertama ini yang diperiksa melalui sidang pleno untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana dimaksud Pasal 54 UU MK, yaitu Presiden dan DPR. (Red)
- Setelah Empat Direktur Unilever Mundur - December 2, 2023
- Parpol Harus Tunjukkan Rekam Jejak Paslon Terkait HAM, Bukannya Gimik Politik - December 2, 2023
- Israel Kembali Bombardir Jalur Gaza - December 2, 2023